Minggu, 30 Oktober 2011

MENGERASKAN SUARA TATKALA MEMBERI TAHU

a. Teks Hadist.

حَدَّثَنَا أَبُوْ النُّعْمَانِ عَارِمُ بْنُ الفَضْلِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بَشْرِ، عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو قَالَ: تَخَّلَفَ عَنَّا النبي صلى الله عليه وسلم في سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةَُُ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: (وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ). مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثَا.
Artinya:
Kami diceritakan oleh Abu Nu’man “Arim bin Fadli katanya, kami diceritakan oleh “Awanah dari Abi Basri dari Yusuf bin Mahak dari “Abdullah bin “Amru kata nya: Pada suatu perjalanan bersama kami ,Rasulullah saw tertinggal, ketika beliau dapat menyusul kami, waktu sholat telah tiba dan kami sedang berwudhu, ternyata kami kurang sempurna membasuh kaki. Agaknya beliau memperhatikan kami lalu berteriak dengan keras, “Celakalah tumit-tumit yang terbakar api neraka” diucapkan dua atau tiga kali berulang-ulang.

Imam Bukhari menjadikan redaksi “dan beliau berteriak dengan keras” sebagai dalil diperbolehkannya meninggikan suara untuk memberi tahu, karena jarak yang jauh atau banyaknya orang. Hal itu untuk memberikan nasehat kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam hadist jabir, “ Jika Rasulullah mengingatkan akan hari qiamat pada saat khutbah, maka beliau menjadi marah dan suaranya meninggi (HR. Muslim).
Adapun riwayat Ahmat dari Hadist Nu’man menambahkan sampai-sampai orang yang ada dipasar mendengarnya. Hadist ini dijadikan dalil oleh imam bukhari untuk mengulangi pembicaraan agar dapat difahami. ( 1)

Dilihat dari I’tibar sanad diatas, Hadist ini berasal dari Abdullah bin Amru, sebab beliaulah yang merupakan tokoh dalam ini. Beliau seorang sahabat Rasulullah yang wafat pada tahun 65 H. Al-Imam Bukhari meriwatkan hadist ini melalui sanad Abu Nu’man, beliau menuliskan hadist ini dalam kitabnya Sahih Bukhari pada Kitab Al-Ilmu, sedangkan dalam Kitabuttaharah, Beliau meriwatkan melalui sanad Musa, yang mana keduanya ( Nu’man dan Musa) mengambil hadis ini dari “Awanah.

1. Terjemahan Fathul Barii, Jilid I, oleh Syekh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, hal: 267

b. Takrij Hadist.

Hadist diatas adalah hadist yang terdapat dalam kitab sahih bukhari (2) , beliau menuliskannya dalam kitabul Ilmi, menurut penelitian penulis hadist ini bukan di riwayatkan oleh imam Bukhari saja, Namun banyak juga Perawi hadist lainnya diantaranya ialah:
1. Imam Muslim, Sahih Muslim beliau menempatkan hadist ini dalam kitabuttaharah, hadist yang ke 241.
2. Imam Baihaqi, Sunan baihaqi, beliau menempatkan hadist ini dalam kitabuttaharah.
3. Imam Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Khuzaimah, Beliau menempatkan hadist ini dalam kitabul Wudhu.
4. Imam Ahmad, Musnad Ahmat.

Dari segi sanad, masing-masing kitab hadist yang meriwayatkan hadist diatas mempunyai jalur sanad yang berbeda. Perbedaan tersebut dimulai pada sanad setelah abu ‘Unwanah. Imam Bukhari menerimanya dari Nu’man bin Fhadil dan Musa, sedangkan Imam Muslim menerimanya dari Syaiban bin furukh dan Abu Kamal. Al-Imam Baihaqi menerimanya dari Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Hafiz. Ibnu Khuzaimah menerimanya dari Abu Tahir. Sedangkan Imam Ahmad menerimanya dari Abdullah.
Sedangkan dari segi matan, masing-masing kitab hadist mempunyai sedikit perbedaan, akan tetapi perbedaan tersebut tidak menghilangkan subtansi makna hadist sebab perbedaan yang terjadi hanya pada lafaz, itupun hanya sebahagian kecil saja. Diantara hadist ada yang memakai Lafaz وقد أرهقتنا الصلاة , ada juga yang memakai lafaz وقد أرهقنا العصر, dan ada juga yang memakai lafaz وقد حضرت صلاة العصر. Akan tetapi perbedaan ini tidak mengubah maksud dan tujuan dari hadist tersebut.



2 . Sahih Bukhari – Kitabul Ilmu, , Intaju Mauqii’ Ruhul Islam.


c. Penjelasan Hadist.

Adalah diperbolehkan meninggikan suara untuk memberitahu. Dari Abdullah bin Amru bin Ash, beliau berkata, ”Pada suatu perjalanan bersama kami, Rasulullah s.a.w.tertinggal. Ketika beliau dapat menyusul kami, waktu shalat telah tiba dan kami sedang berwudhu.Ternyata, kami kurang sempurna membasuh kaki. Agaknya beliau memperhatikan kami lalu berteriak sekeras-kerasnya, ”Celakalah tumit-tumit yang
terbakar api neraka,” Ucapan itu diteriakkan beliau dua atau tiga kali berulang-ulang.
Menurut Ibnu Hajar, Imam Bukhari menjadikan redaksi ”Dan beliau berteriak sekeras-kerasnya” sebagai dalil diperbolehkannya meninggikan suara untuk memberitahu, karena jarak yang jauh atau banyaknya orang. Hal itu untuk memberi nasehat kepada mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir, ”Jika Rasulullah mengingatkan akan hari kiamat pada saat khutbah, maka beliau menjadi marah dan suaranya meninggi.”(Muslim).
Adapun riwayat Ahmad dari hadits Nu’man menambahkan, ”Sampai-sampai orang yang ada dipasar mendengarnya.” Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk mengulangi pembicaraan agar dapat dipahami. Etika mengajar dan menuntut ilmu,berikutnya adalah diperbolehkan bertanya untuk menguji ilmu yang dimiliki. Dari Ibnu Umar dari Rasulullah s.a.w., beliau bersabda, ”Di antara pohon-pohon ada pohon yang tidak jatuh daunnya, pohon tersebut seperti orang muslim, beritahu pohon apakah itu?” Orang-orang menyangka pohon tersebut adalah pohon belukar, sedangkan aku menduga pohon tersebut adalah pohon kurma. Merekapun berkata, ”Beritahu kami pohon apakah itu?” Rasulullah menjawab, ”Pohon kurma.” Sedangkan dalam menuntut ilmu, jika datang kemudian (terlambat), etikanya adalah duduk ditempat yang kosong atau duduk di paling belakang. ( 3 )

Khutbahnya Rasulullah saw.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memperbanyak kata dalam khutbahnya dan tidak menyambung antara pembicaraan yang satu dengan yang lain secara langsung. Beliau juga tidak berbicara dengan tergesa-gesa dalam khutbahnya.

3. Oleh: Prof. Dr. M. Suyanto
Ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta

Sebaliknya, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperlambat perkataannya. Cara berbicara seperti ini membuat jama’ah yang hadir dapat mendengarkan khutbah dengan baik dan memudahkan mereka memahami kandungannya. Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata tentang itu,: (4)
“ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak tergesa-gesa menyambung satu pembicaraan dengan pembicaraan lain seperti tergesa-gesanya kalian. Akan tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang jelas, yang mudah ditangkap dan diingat oleh orang yang duduk bersama (menghadap) beliau”. (HR. Bukhari no.3568 dan Muslim no.2493)
Didalam riwayat Abu Dawud, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu menuturkan’, setiap orang yang mendengarnya akan memahaminya”. (HR Abu Dawud no. 4839)
Dan dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu ia berkata , “Dalam khutbahnya ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (terdengar ) teratur dan tidak tergesa-gesa”. (HR. Abu Dawud no. 4838)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjiwai khutbahnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila berkhutbah, matanya tampak memerah, tekanan suaranya tinggi dan semangatnya memuncak. Beliau bagaikan seorang panglima perang yang sedang memberi peringatan kepada pasukannya. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir bin Abdillah Radhioallahu ‘Anhu ia berkata, “Apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi dan semangatnya memuncak. Beliau bagaikan panglima perang yang sedang mengingatkan pasukannya. “Musuh menyerang kalian pada pagi dan sore hari….!!!”. (HR. Muslim no.867)
Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa para khatib dianjurkan untuk bersungguh-sungguh ketika berkhutbah, meninggikan suaranya, menegaskan perkataannya dan hendaklah penyampaiannya sesuai dengan tema targhib / anjuran dan tarhib / ancaman yang sedang diangkat. Mungkin semangat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memuncak ketika mengingatkan sesuatu urusan yang sangat penting atau perkara besar”. (Al-Minhaaj,6/155)


4. Dr. Anisbun Ahmad bin Thahir, Pustaka Imam Syafi’i

d. Relevansi Hadist dengan Konsep Dakwah.

Kita lihat dari konteks hadist diatas terjadinya seruan rasulullah kepada para sahabat yaitu tatkala waktu sholat ‘Asar, ini berarti pada saat itu manusia sangat banyak sehingga terjadi seruan nabi berulang-ulang. Agar mereka mendengarnya dengan jelas. Menurut kebiasaan tatkala ramainya manusia suara juga akan banyak, sehingga terjadilah hiruk pikuk yang membuat seruan ( panggilan ) tidak jelas, oleh karnanya Rasul menyeru dengan suara yang tinggi ( keras ) untuk memberi tahu.
Kepada kita juga dianjurkan untuk berdakwah dengan suara yang jelas (kuat) agar audien dapat memahami dengan jelas apa yang kita sampaikan. Itupun menurut situasi dan kondisi yang tepat. Apabila kita menyampaikan nya dengan suara yang lemah mungkin saja audien menjadi kurang semangat. Yang mengakibatkan bosan dan jenuh. Akhirnya dakwah ataupun ilmu yang kita sampaikan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Sehingga terjadinya kegagalan dalam menyampaikan syiar ataupun komunikasi.



                                                                          Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar